Kekerasan dalam Rumah Tangga Terhadap Kaum Adam
Jakarta - Wahai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal (QS Al Hujuraat: 13).
Sesuai dengan konsep dan inti ayat di atas maka pada hakekatnya laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling kenal mengenal dan memiliki kedudukan yang sederajat. Sampai beberapa dekade belakangan ini perempuan masih selalu dianggap sebagai pihak yang lemah, bodoh, obyek kaum laki-laki, masyarakat kelas dua, dan stigma buruk lainnya.
Sedikit melirik ke belakang sebagai perbandingan gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas. Lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966. Gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan.
Dalam bidang Perundang-undangan tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Sementara gelombang feminisme di Indonesia mulai didengar gaungnya pada masa Raden Ajeng Kartini. Seorang puteri Bupati Jepara dengan Door Duistermis tox Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang membudaya pada zamannya.
Kultur budaya masyarakat Indonesia yang mengedepankan laki-laki membuat dapat dipastikannya posisi perempuan bersifat subordinasi terhadap laki-laki. Memang posisi perempuan secara kultur budaya lebih rendah daripada laki-laki.
Mengapa kultur tersebut mengakar begitu dalam? Hal tersebut dipicu oleh budaya patriarkhi yang merupakan hegemoni laki-laki atas perempuan yang terlegitimasi dalam nilai dan norma sosial di masyarakat. Selain itu, budaya patriarkhi diteguhkan oleh pembakuan peran di mana kepentingan dan nilai-nilai 'phallo-centris' dipandang sebagai standar kepantasan dan lebih banyak memberikan keuntungan pada laki-laki (Steger & Lind 1999: xviii).
Pandangan masyarakat secara umum terhadap laki-laki yang menganggap bahwa laki-laki jauh lebih kuat dibanding perempuan secara fisik tidak dapat disalahkan. Walaupun tidak seratus persen benar.
Di era globalisasi seperti sekarang ini budaya patriarkhi tersebut tampaknya sedikit demi sedikit mulai terkikis eksistensinya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak juga perempuan-perempuan Indonesia yang mampu menunjukkan kekuatan, kemampuan, dan kapasitasnya sebagai individu di antara kaum laki-laki.
Sebut saja Mantan Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri, Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan, Wakil Direktur Utama Bank BNI Felia Salim, dan sederet nama besar lainnya dari kalangan perempuan.
Selain itu tidak dapat dipungkiri masih ada juga perempuan-perempuan Indonesia lain yang nasibnya memang belum seberuntung nama-nama besar sebelumnya namun memiliki semangat juang yang luar biasa tinggi. Banyak kita jumpai perempuan-perempuan perkasa yang mampu mengangkat beban berat naik turun gunung dan keluar masuk hutan tanpa alas kaki demi mencari penghasilan tambahan.
Atau perempuan-perempuan yang mengais-ngais tumpukan sampah di Bantar Gebang maupun Leuwi Gajah demi mencari sisa-sisa makanan yang masih layak untuk memberi makan anaknya yang sedang sakit. Suami-suami mereka yang seorang buruh pabrik tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.
Berkaca pada porsi perempuan saat ini yang telah menempati peranan penting pada pos-pos vital dalam lini kehidupan seperti tersebut di atas maka pandangan bahwa perempuan lebih rendah dan laki-laki lebih tinggi sekarang ini seharusnya kita tinggalkan. Tidak lagi relevan dan tidak sejalan dengan keharusan zaman. Kita harus memandang baik laki-laki maupun perempuan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sama-sama bernilai mulai saat ini.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUKDRT) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah "setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau pun penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam rumah tangga".
Kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan suatu bentuk tindak pidana. Apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh undang-Undang ini adalah meminimalisir tindak pidana KDRT dan pada akhirnya adalah terwujudnya posisi yang sama dan sederajat di antara sesama anggota keluarga. Posisi yang seimbang antara suami dan istri, anak dengan orang tua, dan juga posisi yang setara antara keluarga inti dengan orang-orang yang baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi bagian dari keluarga sementara saat itu dalam keluarga. Seperti pembantu rumah tangga maupun sanak saudara yang kebetulan tinggal dalam keluarga tersebut dengan tidak memberi pembatasan apakah mereka laki-laki atau perempuan.
Walaupun prosentase angka kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap suami tidak sebanyak yang terjadi pada kekerasan terhadap istri tapi faktanya kekerasan terhadap suami seperti itu memang ada. Masyarakat seolah-olah menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan sang istri terhadap suaminya dalam rumah tangga adalah suatu kewajaran karena merupakan bagian dari dinamika kehidupan berumah tangga yang biasa terjadi.
Lalu kemudian menganggap bahwa sang suami akan mampu menghadapi dan mengatasinya. Dengan asumsi laki-laki secara fisik lebih kuat daripada perempuan. Sehingga, apabila suatu saat hal tersebut terjadi (kekerasan terhadap suami) sang suami bukannya mendapat motivasi atau dukungan moril dari orang terdekatnya tapi justru malah suami mendapat tekanan tambahan dari orang-orang sekelilingnya yang menganggapnya sebagai laki-laki pengecut, cupu (baca; culun punya), lemah di hadapan perempuan, tidak mampu mengendalikan istri dan sebagainya.
Mungkin bagi sebagian besar masyarakat kita menilai salah satu komedi situasi suami-suami takut istri (SSTI) yang ditayangkan di sebuah televisi hanyalah sebuah lelucon konyol untuk menghilangkan sejenak beban pikiran dan penat selepas beraktivitas penuh seharian. Namun, apabila dicermati dan dikritisi lebih lanjut sebenarnya situasi yang sedang digambarkan dalam komedi tersebut telah memenuhi unsur-unsur kekerasan dalam rumah tangga terhadap suami. Seperti kekerasan fisik, psikis, penelantaran rumah tangga.
Jadi, sebetulnya kita tidak dapat menafikkan kenyataan tersebut benar-benar terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Apa yang terjadi di kalangan selebritas mungkin dapat dijadikan contoh mudah yang sering kita lihat di televisi. Karena, seandainya saja kita mau jujur banyak juga terjadi suami-suami yang mengalami tekanan psikis di zaman sulit seperti sekarang ini.
Sebagai ilustrasi suami yang sudah mengalami tekanan kerja di kantor dari atasan karena tidak mencapai target pekerjaan yang direncanakan harus menghadapi kenyataan sesampainya di rumah mendapati kata-kata pedas dari istri karena tidak membawa pulang uang sejumlah yang di harapkan. Yang perlu diingat adalah bahwa Pasal 2 ayat (1) UUKDRT menyebutkan suami sebagai salah satu pihak yang termasuk dalam lingkup keluarga dan sepatutnya juga mendapat perlindungan apabila menjadi objek kekerasan dalam rumah tangga.
Pandangan bahwa UUKDRT lahir melulu ditujukan pada perlindungan perempuan atau istri dalam keluarga (mengutip terutama pengertian kekerasan dalam UUKDRT yang menggarisbawahi terutama perempuan) harus segera diluruskan dan mendapat perhatian penuh. Khususnya pada saat sosialisasi dan dialog-dialog mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
Porsi pembahasan dan penitikberatan antara kemungkinan kekerasan yang akan dilakukan oleh pihak istri maupun suami dan atau anak laki-laki dalam rumah tangga harus berimbang. Sehingga, para suami di bumi Indonesia ini tidak merasa posisinya selalu dipojokkan dan selalu menjadi pihak yang akan dianggap bersalah nantinya terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Masih banyak juga suami-suami atau laki-laki yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral penghormatan terhadap perempuan. Mengingat kesetaraan gender yang selalu dikumandangkan selama ini menginginkan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Untuk itu kita perlu melakukan rekonstruksi nilai melalui reinterpretasi terhadap ruang lingkup pengertian kekerasan dalam rumah tangga. Karena, UUKDRT kita juga sesungguhnya mengkover perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga dari pihak laki-laki atau suami.
Pada akhirnya ajaran bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu kiranya secara umum sudah dapat kita terima kebenarannya. Baik dari pandangan agama, kultur, budaya, memang mewajibkan kita untuk menghormati perempuan bernama ibu. Namun, jangan pula dilupakan bahwa sesungguhnya ada ungkapan lain yang selanjutnya mengikuti.
Ajaran yang menyebutkan bahwa surga bagi sang ibu berada di bawah telapak kaki sang bapak atau surganya istri berada di bawah telapak kaki suami. Walaupun kembali lagi kita harus meninjau ulang suami atau bapak seperti apa yang pantas menyandang predikat itu sehingga ke depannya tidak terjadi pemahaman yang keliru mengenai ajaran tentang kepatuhan istri terhadap suami tersebut. (LPK2DRT Jakarta)
Sumber Informasi :
Sesuai dengan konsep dan inti ayat di atas maka pada hakekatnya laki-laki dan perempuan diciptakan untuk saling kenal mengenal dan memiliki kedudukan yang sederajat. Sampai beberapa dekade belakangan ini perempuan masih selalu dianggap sebagai pihak yang lemah, bodoh, obyek kaum laki-laki, masyarakat kelas dua, dan stigma buruk lainnya.
Sedikit melirik ke belakang sebagai perbandingan gelombang feminisme di Amerika Serikat mulai lebih keras bergaung pada era perubahan dengan terbitnya buku The Feminine Mystique yang ditulis oleh Betty Friedan di tahun 1963. Buku ini ternyata berdampak luas. Lebih-lebih setelah Betty Friedan membentuk organisasi wanita bernama National Organization for Woman (NOW) di tahun 1966. Gemanya kemudian merambat ke segala bidang kehidupan.
Dalam bidang Perundang-undangan tulisan Betty Fredman berhasil mendorong dikeluarkannya Equal Pay Right (1963) sehingga kaum perempuan bisa menikmati kondisi kerja yang lebih baik dan memperoleh gaji sama dengan laki-laki untuk pekerjaan yang sama. Sementara gelombang feminisme di Indonesia mulai didengar gaungnya pada masa Raden Ajeng Kartini. Seorang puteri Bupati Jepara dengan Door Duistermis tox Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Itulah judul buku dari kumpulan surat-surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang membudaya pada zamannya.
Kultur budaya masyarakat Indonesia yang mengedepankan laki-laki membuat dapat dipastikannya posisi perempuan bersifat subordinasi terhadap laki-laki. Memang posisi perempuan secara kultur budaya lebih rendah daripada laki-laki.
Mengapa kultur tersebut mengakar begitu dalam? Hal tersebut dipicu oleh budaya patriarkhi yang merupakan hegemoni laki-laki atas perempuan yang terlegitimasi dalam nilai dan norma sosial di masyarakat. Selain itu, budaya patriarkhi diteguhkan oleh pembakuan peran di mana kepentingan dan nilai-nilai 'phallo-centris' dipandang sebagai standar kepantasan dan lebih banyak memberikan keuntungan pada laki-laki (Steger & Lind 1999: xviii).
Pandangan masyarakat secara umum terhadap laki-laki yang menganggap bahwa laki-laki jauh lebih kuat dibanding perempuan secara fisik tidak dapat disalahkan. Walaupun tidak seratus persen benar.
Di era globalisasi seperti sekarang ini budaya patriarkhi tersebut tampaknya sedikit demi sedikit mulai terkikis eksistensinya. Fakta di lapangan menunjukkan bahwa banyak juga perempuan-perempuan Indonesia yang mampu menunjukkan kekuatan, kemampuan, dan kapasitasnya sebagai individu di antara kaum laki-laki.
Sebut saja Mantan Presiden Republik Indonesia Megawati Soekarno Putri, Mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani, Menteri Perdagangan Marie Elka Pangestu, Direktur Utama PT Pertamina Karen Agustiawan, Wakil Direktur Utama Bank BNI Felia Salim, dan sederet nama besar lainnya dari kalangan perempuan.
Selain itu tidak dapat dipungkiri masih ada juga perempuan-perempuan Indonesia lain yang nasibnya memang belum seberuntung nama-nama besar sebelumnya namun memiliki semangat juang yang luar biasa tinggi. Banyak kita jumpai perempuan-perempuan perkasa yang mampu mengangkat beban berat naik turun gunung dan keluar masuk hutan tanpa alas kaki demi mencari penghasilan tambahan.
Atau perempuan-perempuan yang mengais-ngais tumpukan sampah di Bantar Gebang maupun Leuwi Gajah demi mencari sisa-sisa makanan yang masih layak untuk memberi makan anaknya yang sedang sakit. Suami-suami mereka yang seorang buruh pabrik tidak mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga mereka.
Berkaca pada porsi perempuan saat ini yang telah menempati peranan penting pada pos-pos vital dalam lini kehidupan seperti tersebut di atas maka pandangan bahwa perempuan lebih rendah dan laki-laki lebih tinggi sekarang ini seharusnya kita tinggalkan. Tidak lagi relevan dan tidak sejalan dengan keharusan zaman. Kita harus memandang baik laki-laki maupun perempuan sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang sama-sama bernilai mulai saat ini.
Dalam Pasal 1 Undang-Undang No 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (UUKDRT) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan kekerasan dalam rumah tangga adalah "setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau pun penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam rumah tangga".
Kekerasan dalam rumah tangga ini merupakan suatu bentuk tindak pidana. Apa yang sesungguhnya ingin dicapai oleh undang-Undang ini adalah meminimalisir tindak pidana KDRT dan pada akhirnya adalah terwujudnya posisi yang sama dan sederajat di antara sesama anggota keluarga. Posisi yang seimbang antara suami dan istri, anak dengan orang tua, dan juga posisi yang setara antara keluarga inti dengan orang-orang yang baik secara langsung maupun tidak langsung menjadi bagian dari keluarga sementara saat itu dalam keluarga. Seperti pembantu rumah tangga maupun sanak saudara yang kebetulan tinggal dalam keluarga tersebut dengan tidak memberi pembatasan apakah mereka laki-laki atau perempuan.
Walaupun prosentase angka kasus kekerasan dalam rumah tangga terhadap suami tidak sebanyak yang terjadi pada kekerasan terhadap istri tapi faktanya kekerasan terhadap suami seperti itu memang ada. Masyarakat seolah-olah menganggap bahwa kekerasan yang dilakukan sang istri terhadap suaminya dalam rumah tangga adalah suatu kewajaran karena merupakan bagian dari dinamika kehidupan berumah tangga yang biasa terjadi.
Lalu kemudian menganggap bahwa sang suami akan mampu menghadapi dan mengatasinya. Dengan asumsi laki-laki secara fisik lebih kuat daripada perempuan. Sehingga, apabila suatu saat hal tersebut terjadi (kekerasan terhadap suami) sang suami bukannya mendapat motivasi atau dukungan moril dari orang terdekatnya tapi justru malah suami mendapat tekanan tambahan dari orang-orang sekelilingnya yang menganggapnya sebagai laki-laki pengecut, cupu (baca; culun punya), lemah di hadapan perempuan, tidak mampu mengendalikan istri dan sebagainya.
Mungkin bagi sebagian besar masyarakat kita menilai salah satu komedi situasi suami-suami takut istri (SSTI) yang ditayangkan di sebuah televisi hanyalah sebuah lelucon konyol untuk menghilangkan sejenak beban pikiran dan penat selepas beraktivitas penuh seharian. Namun, apabila dicermati dan dikritisi lebih lanjut sebenarnya situasi yang sedang digambarkan dalam komedi tersebut telah memenuhi unsur-unsur kekerasan dalam rumah tangga terhadap suami. Seperti kekerasan fisik, psikis, penelantaran rumah tangga.
Jadi, sebetulnya kita tidak dapat menafikkan kenyataan tersebut benar-benar terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Apa yang terjadi di kalangan selebritas mungkin dapat dijadikan contoh mudah yang sering kita lihat di televisi. Karena, seandainya saja kita mau jujur banyak juga terjadi suami-suami yang mengalami tekanan psikis di zaman sulit seperti sekarang ini.
Sebagai ilustrasi suami yang sudah mengalami tekanan kerja di kantor dari atasan karena tidak mencapai target pekerjaan yang direncanakan harus menghadapi kenyataan sesampainya di rumah mendapati kata-kata pedas dari istri karena tidak membawa pulang uang sejumlah yang di harapkan. Yang perlu diingat adalah bahwa Pasal 2 ayat (1) UUKDRT menyebutkan suami sebagai salah satu pihak yang termasuk dalam lingkup keluarga dan sepatutnya juga mendapat perlindungan apabila menjadi objek kekerasan dalam rumah tangga.
Pandangan bahwa UUKDRT lahir melulu ditujukan pada perlindungan perempuan atau istri dalam keluarga (mengutip terutama pengertian kekerasan dalam UUKDRT yang menggarisbawahi terutama perempuan) harus segera diluruskan dan mendapat perhatian penuh. Khususnya pada saat sosialisasi dan dialog-dialog mengenai kekerasan dalam rumah tangga.
Porsi pembahasan dan penitikberatan antara kemungkinan kekerasan yang akan dilakukan oleh pihak istri maupun suami dan atau anak laki-laki dalam rumah tangga harus berimbang. Sehingga, para suami di bumi Indonesia ini tidak merasa posisinya selalu dipojokkan dan selalu menjadi pihak yang akan dianggap bersalah nantinya terkait dengan kekerasan dalam rumah tangga.
Masih banyak juga suami-suami atau laki-laki yang baik dan menjunjung tinggi nilai-nilai moral penghormatan terhadap perempuan. Mengingat kesetaraan gender yang selalu dikumandangkan selama ini menginginkan kedudukan yang sama antara laki-laki dan perempuan.
Untuk itu kita perlu melakukan rekonstruksi nilai melalui reinterpretasi terhadap ruang lingkup pengertian kekerasan dalam rumah tangga. Karena, UUKDRT kita juga sesungguhnya mengkover perlindungan korban kekerasan dalam rumah tangga dari pihak laki-laki atau suami.
Pada akhirnya ajaran bahwa surga berada di bawah telapak kaki ibu kiranya secara umum sudah dapat kita terima kebenarannya. Baik dari pandangan agama, kultur, budaya, memang mewajibkan kita untuk menghormati perempuan bernama ibu. Namun, jangan pula dilupakan bahwa sesungguhnya ada ungkapan lain yang selanjutnya mengikuti.
Ajaran yang menyebutkan bahwa surga bagi sang ibu berada di bawah telapak kaki sang bapak atau surganya istri berada di bawah telapak kaki suami. Walaupun kembali lagi kita harus meninjau ulang suami atau bapak seperti apa yang pantas menyandang predikat itu sehingga ke depannya tidak terjadi pemahaman yang keliru mengenai ajaran tentang kepatuhan istri terhadap suami tersebut. (LPK2DRT Jakarta)
Sumber Informasi :
http://suarapembaca.detik.com/
0 comments:
Post a Comment